Dear asfi,
Aku tahu saat ini kau tentu sedang bersedih, seperti selalu dan selalu. Kulihat wajahmu nampak lebih tua dari usiamu yang sebenarnya. Sudah lama kulihat tak ada lagi aura di wajahmu yang dulu begitu cantik dan ceria. Perkawinan telah membuat hidup dan karirmu hancur lebur, perkawinan yang dulu pernah aku syukuri kehadirannya karena saat perkawinanmu aku berdoa dan berpikir bisa membawamu menjadi perempuan yang bahagia, setidaknya seperti percikan kebahagiaan yang hadir dalam hidupku.
Kalau ada perempuan yang bahagia dengan perkawinanmu saat itu, orang itu adalah aku. Tapi kalau ada yang menyesali perkawinanmu saat ini, juga akulah itu. Saat ini aku merasa berdosa tak bisa banyak melakukan hal buat kebahagiaanmu. Aku tahu bahwa hidup bersama dengan suamimu yang ganteng, sopan, lembut dan pintar itu tidak lebih menjadi neraka dalam hidupmu. Tapi kau terus bertahan hidup dalam “neraka” yang kalian ciptakan. Kau tak mau keluar dari neraka itu.
Asfi,
Tahukah kau sungguh perih melihat anakmu menderita, berwajah kuyu dan setiap saat mendengar bentakan dan amarah kalian berdua. Anakmu yang cerdas dan cantik itu terseret dan menjadi korban ego kau dan suamimu.
Aku tahu kau menangis panjang saat suamimu menghabiskan hartamu yang aku tahu telah dengan susah payah kau simpan sebagai jerih payahmu bekerja sejak kau masih menjadi gadis yang cantik dan ceria. Aku tahu kau hendak menjerit setiap kali pukulan, bentakan dan tendangan suamimu mendarat di tubuhmu. Atau saat suamimu datang dan pergi semaunya. Aku juga tahu kau tentu menangis lama dan hampir setengah gila saat kau menyaksikan dengan matamu sendiri suamimu berhubungan badan dengan sesama lelaki dirumahmu sendiri yang merupakan pemberian orang tuamu. Rumah itu telah dikotori oleh hal yang menjijikan oleh suamimu.
Asfi,
Aku ingin kau tahu akupun menangis dan bersedih untuk semua yang kau alami, tapi aku gagal untuk membuatmu keluar dari neraka itu. Kau tetap ingin hidup didalam neraka yang dibuat suamimu. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Tapi aku mencoba menghargai keputusanmu. Mungkin kau terlalu mencintai suamimu yang buatku sangat menyebalkan itu, atau kau mencintai anakmu, atau apalah yang ada dalam pikiranmu yang tak bisa kumengerti.
Kalau suamimu tahu aku menulis surat ini, tentu dia juga akan membenci aku seumur hidupnya, aku tidak perduli. Aku ingin jujur mengatakan padamu aku memang tak suka dengan kelakuan suamimu.
Dari jauh aku masih menangis mengingat penderitaanmu, berdoa kepadaNya agar kau selalu diberi kesehatan, kesabaran dan kekuatan menjalani “neraka” perkawinanmu, menjaga anakmu yang cerdas dan cantik (amin). Maafkan aku bila tak lagi banyak yang bisa kulakukan buatmu. Kau tahu aku selalu menyayangi kau dan putrimu. Semoga putrimu tidak mengalami trauma dalam perjalanan hidupnya menjadi seorang gadis kelak.. (amin)
Asfi,
Berdoalah kepadaNya, dekatkan dirimu kepadaNya, menangislah dalam sujudmu, mohon pertolongan padaNya untuk memberikan yang terbaik buat dirimu dan putrimu. Dia maha pengasih akan mendengar doamu…..
Maafkan aku…..
Santiago, 28 maret 2011